Waktu hari ini

Image Hosting by PictureTrail.com

Panorama Lembah Grenggeng

Indahnya alam pedesaan, sesekali angin menghembus lembut, riak air, gemerisik daun bagaimana kini...

Image Hosting by PictureTrail.com

Panorama Lembah Grenggeng

Biarkan kami menikmati sisa hembusan angin gunung, dinginnya kabut pagi...

Image Hosting by PictureTrail.com

Panorama Lembah Grenggeng

Biarkan kami menghirup aroma asap jerami yang dibakar petani, aroma lumpur sawah desa kami, canda riang anak-anak kami..

Image Hosting by PictureTrail.com

Panorama Lembah Grenggeng

Biarkan peluh keringat dan terik matahari menghiasi telanjang punggung kuat para petani

Image Hosting by PictureTrail.com

Panorama Lembah Grenggeng

Biarkan semangat keceriaan ini hingga nanti...

Berani Kaya

peluang usaha

Sabtu, Juli 24, 2010

Gagal Menjadi Seorang Pahlawan

Berjalan disuatu sore di kampungku. Setelah sekian jauh aku berjalan, aku menemukan sebuah makam (kuburan) yang konon cerita dari para sesepuh di desaku adalah makam seorang pejuang kemerdekaan yang kala itu ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Bangsa ini. Cukup bangga rasanya apabila ada seorang pahlawan yang berasal dari kampung kami yang kecil ini. Akupun akhirnya tertarik untuk mencari tahu tentang siapa gerangan pahlawan yang telah dimakamkan di salah satu sudut kampung ini. Aku bergegas melanjutkan perjalanan dengan harapan aku dapat bertemu dengan seseorang yang barang kali dapat memberiku informasi, atau sekedar cerita mengenai sejarah pada masa perjuangan kala itu. Aku mulai berpikir dan mencari-cari arah kemana aku harus melangkah. "Oh ya, aku ingat", dalam hatiku berpendapat dan menemukan satu rencana untuk bertemu dengan seseorang yang aku anggap sudah cukup tua di kampung ini. Akupun bergegas dengan semangat 45 berganti arah perjalanan menuju bukit tempat orang yang aku maksud tadi. Lima belas menit sudah aku tempuh perjalanan ke atas bukit, disana aku bertemu dengan seseorang yang tidak lain adalah Uwak ku (panggilan untuk orang yang usianya lebih tua dari orang tuaku), sebut saja namanya "Uwak Abdi" (nama samaran). "Assalmu'alaikum" dari kejauhan aku menyapa beliau yang sedang berada di pelataran rumahnya sambil merapihkan kayu bakar dan golok yang masih tergenggam di tangan kananya. "Wa'alaikumussalam", jawab beliau dengan suara rendah sembil beranjak dari jongkoknya seraya memandang ke arahku. "Oh kamu, mari silakan masuk!" sambil berdiri aku pun berjabat tangan dan menciumnya. Kemudian kami duduk-duduk di serambi teras rumah yang terbuat dari bambu, suasana sore hari ini memang terasa sejuk apalagi di atas bukit dengan semilir angin yang berhembus menghempas dedaunan sekitar rumah Uwak Abdi. Tidak lama kemudian keluar dari arah samping rumah yang rupanya ada pintu mengarah ke dapur rumah mereka, yaitu istri uwak Abdi sambil menyapaku "Dari mana saja, sendirian apa? tanya istri uwak kepadaku. "Iya lagi jalan-jalan kebetulan mampir wak" jawabku singkat. Kami masih duduk-duduk sementara istri uwak beranjak masuk kembali kerumah "mungkin sedang mempersiapkan minum untuk kami" dalam hati ku ge er (gede rasa). Setelah agak lama ngobrol tentang keadaan keluarga kami masing-masing, dan obrolan-obrolan seputar kegiatan yang ringan-ringan. Aku sudah mempersiapkan berbagai macam pertanyaan yang akan aku ajukan pada uwakku. Tidak lama kemudian minuman kopi hangat dan singkong rebus pun tersedia di depan kami berkat istri uwak tadi, "Betul kataku" gumamku mempertegas tentang ke ge eranku tadi. Inilah bukti orang kampung setiap ada tamu pasti kami disuguh dengan minuman dan makanan ringan, dan biasanya ada hidangan berata (jamuan makan), terlebih jika kita jarang bertemu bisa diada-adain (walaupun tidak ada dibuat ada, walaupun tidak masak jadi masak enak). Tanpa kami sadari tanya jawab sedang berlangsung antara aku dan uwakku. "Wak, apakah dulu mengalami perang kemerdekaan?" tanyaku pada uwak. "Kamu ini aneh wong saya lahir itu sudah ada Belanda di sini, perang kemerdekaan kan baru kemarin!" jawab uwakku tidak mau diremehkan. "Berapa usia uwak pada saat itu wak?" tanyaku kembali. "Ya kira-kira 17 sampai 20 tahunan lah, intinya sudah remaja" jawab uwakku. "Berarti uwak mengalami dan dapat menyaksikan dengan jelas tat kala para pejuang memblokade jalan raya Kemit" (suatu lokasi di daerah kami), tanyaku kembali. "Ya tau lah!" jawab uwak, bahkan menceritakan secara rinci kejadian-kejadian yang terjadi saat itu. "Pada saat itu pemerintah Indonesia dialihkan sementara ke Jojga dan batas antara Indonesia-Belanda adalah sungai Kemit, tepatnya Belanda di daerah Gombong berpusat di Benteng Van Der Wijck (yang sekarang menjadi tempat wisata sejarah). "Wah kalau begitu uwakku benar-benar mengalami dan dapat mengingat dengan baik peristiwa bersejarah di desa kami" dalam hatiku berujar. "Trus apa yang dilakukan uwak pada masa-masa genting wak?" tanyaku semakin penasaran. "Kebanyakan pemuda mempersiapkan diri membuat bambu runcing yang banyak, untuk persiapan dan jaga-jaga kemungkinan Belanda masuk kampung kita". jawab uwak dengan nada meyakinkan. "Aneh ya wak?, hanya dengan modal bambu runcing belanda bisa kalah!" kulontarkan kalimat sekenanya. "Ya jelas takut, wong bambu runcing itukan tajam dan andaikata mengenai perut, pasti dapat mengoyak seisi perutnya, terlebih ujung bambu runcing diolesi cairan kunyit" jawab uwak dengan tegas sambil memperagakan mengoles kunyit di ujung jarinya sendiri. "Lho kok dikasih kunyit? supaya bagaimana sih wak?"tanyaku semakin heran. "Ya biar, luka yang telah robek tadi menjadi terasa perih, dan menjalar melalui darah", jawabnya. "Waduh, mengerikan sekali ya?" dalam hatiku sambil membayangkan betapa sakitnya orang yang terkena bambu runcing tadi. "Berarti uwak pada saat itu ikut bikin bambu runcing", pertanyaanku mengejar-ngejar saking penasarannya."Kamu ini aneh, ya pasti bikin!", jawab uwakku yang tak mau diremehkan. "Berarti uwak pernah berbuat dosa, karena pernah membunuh orang, trus perasaan pada saat akan membunuh musuh gimana wak", tanyaku yang takut keduluan jawaban. "Kamu ini aneh, pada saat itu begitu bunyi alarm bertanda bahwa Belanda akan memasuki kampung, uwak langsung berlari dan bergegas", "Kemana uwak, terus-terus!"tanyaku memotong penjelasan uwak. "Segera ke dapur!", "Ngapain wak, kok ke dapur?@#$%" tanyaku terheran. "Ya pokoknya kalau ada bunyi alarm, uwak langsung saja menuju ke dapur membawa serta bambu runcingnya", jawab uwak."Maksudnya bersembunyi, sambil mengatur siasat gitu wak?", tanyaku semakin penasaran dengan harapan uwak menjawab iya."Ya gak lah!", jawab uwakku lagi. "Berarti uwak pemberani dong, buktinya gak bersembunyi!" tegasku. "Uwak kedapur sambil membawa bambu runcing untuk segera dimusnahkan, dimasukkan ke tungku dan dibakar, agar tidak ketahuan Belanda!!!!, gitu!!!", jawab uwak dengan sombongnya. "Lho kok....?" aku masih penasaran. "Ya kalau ketahuan Belanda nanti uwak ditangkap, diikat, dipenjara, dibunuh!!!", "Wah berarti uwak gak pernah membunuh Belanda?!!!", "Boro-boro membunuh, dengar alarm saja sudah takut, jangan-jangan ditangkap!", "Kalau begitu uwak gak berdosa dong, habis gak pernah membunuh, gak pernah melukai orang, paling tidak menolong juru masak mencarikan kayu bakar terbuat dari bambu runcing, ya wak?...", lanjutku. "Ya gitu deh...!". "Hufh...kirain perjuangan uwakku sangat heroik, ternyata....." dalam hatiku. Tetapi siapapun dan apapun yang dilakukan oleh mereka setidaknya mengingatkan kita pada masa-masa sulit dan menyedihkan dibawah tekanan dan ancaman baik secara mental dan psikis, ketakutan yang luar biasa, kelaparan dimana-mana. Semoga apa yang telah dikisahkan oleh uwakku tadi, kita tidak mengalaminya. Kisah ini baru sempat aku tulis, sementara uwakku kini telah pergi bersama-sama mereka "para pejuang" selamat jalan wak? terima kasih atas cerita dan kisahnya, semoga Alloh senantiasa melindungimu, seorang pahlawan tidak hanya di medan laga, setidaknya engkau telah bersama-sama mereka dalam mengukir sejarah!

Senin, Juli 05, 2010

Tanah Lot Bali

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More